MAKASSAR, iNews.id - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara No. 135/PUU-XXII/2024 yang menguji secara kumulatif ketentuan dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa sejumlah pasal dalam kedua undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan ini memberikan panduan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) atas penyelenggaraan pemilu. MK menyatakan bahwa pemungutan suara harus dilakukan secara serentak untuk memilih DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden, lalu dilanjutkan dengan pemilu lokal dalam waktu paling singkat 2 tahun dan paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan.
Namun, problem utama bukan pada pemisahan antara pemilu nasional dan lokal itu sendiri, melainkan pada penetapan jeda waktu tersebut, yang secara normatif tidak memiliki pijakan konstitusional. Inilah yang menimbulkan problematika serius dalam ketatanegaraan kita.
Meneropong Konstitusi: Pelanggaran Atas Pasal 22E
Jika kita merujuk Pasal 22E ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, jelas ditegaskan bahwa pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan DPRD.
Dengan adanya jeda waktu hingga 2,5 tahun, maka masa jabatan anggota DPRD berpotensi diperpanjang secara inkonstitusional. Padahal, UUD 1945 tidak memberikan ruang untuk perpanjangan masa jabatan tanpa pemilu. Ini bertentangan dengan prinsip dasar bahwa wakil rakyat harus mendapat mandat langsung melalui pemilu, bukan melalui penunjukan atau perpanjangan otomatis.
Konsekuensinya, bila masa jabatan diperpanjang melebihi lima tahun, maka terjadi pelanggaran langsung terhadap Pasal 22E ayat (1). Selain itu, Pasal 22E ayat (2) menyatakan pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPRD, dan ayat (3) mengatur bahwa peserta pemilu adalah partai politik, bukan entitas yang dapat menunjuk pejabat. Maka, jelas bahwa pemilu tidak bisa dipisah dari mekanisme pengisian jabatan secara demokratis dan periodik.
Ketika MK Menjadi Legislator Positif: Progresif atau Problematis?
Mahkamah Konstitusi pada prinsipnya adalah negative legislator, yakni hanya membatalkan norma yang bertentangan dengan UUD. Namun dalam praktik peradilan konstitusi modern, termasuk Indonesia, MK kerap menjalankan fungsi judicial activism, yaitu merumuskan panduan atau bahkan norma baru. Hal ini memang diakui dalam sistem hukum konstitusi global, sebagaimana putusan Marbury vs Madison yang menjadi tonggak judicial review di Amerika.
Namun, aktivisme yudisial tidak boleh keluar dari koridor konstitusi. Dalam hal ini, putusan MK justru menabrak norma konstitusional yang sudah terang, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum baru. Padahal, dalam asas hukum dikenal adagium lex clara non sunt interpretanda — jika hukum sudah jelas, maka tak perlu ditafsir ulang.
Solusi Konstitusional: Kembali ke Rel Demokrasi
Permasalahan yang muncul dari putusan ini menuntut dua hal:
1. Constitutional Compliance, yaitu penjelasan resmi MK kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) agar tidak terjadi krisis legitimasi dan pelanggaran UUD dalam masa transisi pemilu lokal.
2. Constitutional Engineering, yakni rekayasa peraturan perundang-undangan (UU Pemilu dan UU Pilkada) untuk menjaga kesinambungan hukum dan kejelasan masa jabatan pejabat publik dalam sistem demokrasi elektoral.
Penutup: Tegaknya Konstitusi Adalah Harga Mati
Sebagai “Penjaga Konstitusi”, MK semestinya arif dan bijaksana dalam menggunakan kewenangannya. Finalitas putusan MK bukan berarti kekuasaan mutlak untuk menafsir seenaknya, apalagi bila hasilnya justru menyimpang dari amanat konstitusi. Demokrasi tidak boleh dibajak oleh kekacauan tafsir hukum.
Putusan No. 135/PUU-XXII/2024 adalah contoh bagaimana sebuah langkah “progresif” bisa berubah menjadi jebakan ketatanegaraan, bila tidak diletakkan dalam kerangka konstitusional yang murni dan konsisten. Sudah saatnya kita kembali pada khittah konstitusi: lima tahun, langsung, dan tanpa penundaan.
Editor : Abdul Kadir
Artikel Terkait