SUNGGUMINASA, iNews.id - Diskografi dan Dialog Budaya kembali dilaksanakan Mitologi Bumi Sulawesi (MBS). Dalam kegiatan ini, MBS bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Dana Indonesiana dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Adapun tema yang diangkat adalah "Tradisi dan Religiusitas Budaya Royong, Eksistensi Kesenian Tradisional".
Diskografi ini dilaksanakan pada hari Jumat, 19 April 2024 di Kantor Redaksi MBS, Jalam Usman Salengke Kav A No 2 Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulsel.
Diskografi dan Dialog Budaya ini adalah salah satu dari tujuh paket kegiatan yang telah disepakati antara MBS dan Kemendikbudristek untuk dijalankan selama tahun 2024. Dialog ini adalah kegiatan kedua dari 10 kegiatan yang telah direncanakan.
Menghadirkan pemateri Dr Sumarlin Rengko HR, sebagai Akademisi, Eka Yuniarsih, S.S, sebagai penggiat budaya dan Kaharuddin Daeng Muji dari Dewan Kesenian Gowa.
Kegiatan ini dipandu oleh Sadikil Wahdi serta acara dibuka langsung oleh Direktur MBS Iwal Achmady.
Sumarlin Rengko yang tampil sebagai pembicara pertama menjelaskan nilai-nilai religiusitas yang terkandung dalam royong.
"Royong adalah satu gendre sastra lisan Makassar yang sangat unik," ungkap Rengko.
Menurut Rengko, dalam royong yang berisi liris memiliki aspek religiusitas berfikir positif yang sangat tinggi yang tergambar dalam budaya masyarakat gowa. Hal ini, bagi Rengko, mencerminkan jika royong itu merupakan Ma'rifatullahnya sasrta Makassar.
"Dalam teks royong penuh dengan harapan dan doa sehingga nilai-nilai religiusitas di dalamnya sangatlah tinggi," jelas Rengko.
Eka Yuniarsi, S.Si selaku penggiat budaya memaparkan seperti apa praktek royong itu dilakukan di kalangan masyarakat Kabupaten Gowa.
Menurut Eka, royong adalah sastra lisan masyarakat Makassar yang dilaksanakan pada momen-momen tertentu. Bahkan, lanjut Eka, beberapa pelaku royong yang sempat ditemuinya mengaku tidak ingin menyampaikan liris yang dilantunkan karena bisa membahayakan dirinya.
"Perayong itu sangat menjaga tingkat kesakralan dari kegiatan royong, sehingga mereka tidak sembarang ingin melantunkan liris dari royong tersebut. Bahkan dalam melantukan royong ada tata cara yang pakem harus dilakukan," ungkap Eka.
Sebagai sastra lisan yang punya nilai religiusitas yang tinggi, Eka berharap royong harus dijaga dan tetap dilestarikan.
Disamping itu, dari Dewan Kesenian Gowa, Kaharuddin Daeng Muj memandang royong merupakan sastra lisan yang berisi lantunan doa-doa kepada sang pencipta. Sehingga, menurut Daeng Muji, sapaan akrabnya, royong tidak bisa dipentaskan disembarang tempat dan sembarang orang.
"Ada kewajaran dan kepantasan yang melekat dari royong itu sendiri. Sekalipun royong juga merupakan seni yang ditampilkan dalam bentuk lisan," pandangan Daeng Muji.
Sembari dengan itu, Direktur MBS Iwal Achmady selaku dalam closing statementnya menyatakan, ketika sebagian orang menganggap royong sudah hampir punah saat ini, akan tetapi berdasarkan penelusurannya selama ini dalam menggali sejarah adat dan budaya di Sulsel, ternyata royong masih ada dan tetap terpakai hingga saat ini, sekalipun itu hanya pada momen tertentu.
Dialog ini berlangsung kondusif, interaktif dan dinamis, mengingat perserta yang hadir dari berbagai kalangan, mulai dari komunitas budaya, tokoh masyarakat, aktivis, akademisi, tokoh adat, pemuda hingga berbagai media turut hadir.
Termasuk panitia menghadirkan paroyong dari Bontorappo (Bontomarannu) dan Hj Daeng Tajammeng paroyong dari Samata, Sombaopu.
Berbagai tanggapan datang dari peserta dialog, hingga dialog berlangsung cukup dinamis, mengingat peserta cukup haus akan informasi tentang royong itu sendiri.
Acara ini dinilai oleh berbagai kalangan yang hadir, cukup mengedukasi. Hal tersebut terlihat dari peserta yang hadir melebihi dari target yang telah ditetapkan oleh pihak pelaksana dalam hal ini MBS. Telebih lagi, karena Ketua Yayasan Budaya Bugis Makassar, Ahmad Pidris Zain, menyempatkan hadir dalam acara ini di tengah jadwalnya yang padat. Pidris hadir dipenghujung acara dan sempat memberikan spirit budaya kepada seluruh peserta dialog. Menurut Pidris, Budaya adalah benteng terakhir dalam menjaga keutuhan NKRI.
Editor : Revin