Menata Ulang Nilai Siri’, Sipakatau, dan Pacce di Tengah Arus Media Sosial

St. Junaeda Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Makassar
St. Junaeda Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Makassar. Foto: Istimewa

MAKASSAR, iNews.id - Pernahkah kita duduk di sebuah warkop di Makassar, menyeruput kopi susu sambil mendengar riuhnya percakapan orang-orang di sekitar? Ada tawa, perdebatan, dan pertukaran informasi, tetapi tetap ada batas-batas norma kesantunan yang membuat suasana tetap tertib. Kita melihat wajah lawan bicara, memahami bahasa tubuh mereka, dan menyadari bahwa hubungan sosial di ruang itu dijaga oleh rasa saling menghormati.

Namun hari ini, interaksi itu berpindah ke layar gawai berukuran 6 inci. Media sosial yang diidealkan sebagai public sphere oleh Jurgen Habermas, berubah menjadi arena yang sering kali tidak mencerminkan nilai budaya yang kita anut. Alih-alih ruang diskusi yang sehat, ia kerap menjelma menjadi “hutan belantara digital” yang penuh teriakan, salah paham, dan hilangnya identitas budaya.

Tulisan ini adalah ajakan untuk meninjau kembali cara kita—khususnya masyarakat Bugis dan Makassar—menavigasi nilai Siri’, Sipakatau, dan Pacce di tengah derasnya arus dunia digital.

Disrupsi Nilai Sipakatau di Ruang Digital

Dalam budaya Bugis dan Makassar, tata krama hierarkis menjadi dasar dalam membangun hubungan sosial. Kita mengenal:

Sipakatau — saling memanusiawikan

Sipakalebbi / Sipakalabbiri — saling memuliakan

Sipakainga’ — saling mengingatkan

Ketiga nilai ini bekerja efektif dalam interaksi langsung. Ada kontrol sosial fisik: kita segan berbicara kasar pada yang lebih tua, kita menahan diri karena tahu akan berjumpa kembali esok hari.

Namun media sosial melahirkan apa yang disebut online disinhibition effect keberanian berlebihan karena merasa aman di balik layar.

Akibatnya:

Bahasa kasar mudah terlontar.

Anonimitas memutus hubungan emosional.

Norma kesopanan melemah.

Ruang digital pun mengalami defisit Sipakatau. Di balik nama akun, kita lupa bahwa ada manusia yang sama seperti kita, punya hati, rasa, dan martabat.

Siri: Dari Penjaga Martabat Menjadi Konten Voral

Siri’ adalah konsep paling sakral bagi masyarakat Bugis dan Makassar. Ia adalah harga diri dan kehormatan seseorang. Dahulu, Siri’ membuat orang berhati-hati dalam bertutur dan berperilaku.

Tetapi di media sosial, terjadi pergeseran makna:

1. Siri’ sebagai komoditas konten.

Konflik pribadi disebarkan melalui story atau live demi mendapat dukungan publik dan viralitas.

2. Siri’ sebagai pemicu konflik digital.

Rasa tersinggung muncul bukan lagi karena melanggar adat, tetapi karena kalah pamer pencapaian. Flexing memicu rasa malu yang berubah menjadi iri hati.

3. Siri’ kehilangan kesakralannya.

Ia digunakan sebagai alat menyerang dalam debat daring, bukan sebagai kontrol moral untuk menjaga martabat.

Jika Siri’ hanya dipahami sebagai “harga diri digital” dalam komentar atau status, maka kita sedang menyaksikan terjadinya distorsi makna yang sangat berbahaya.

Pacce: Api Empati yang Tetap Menyala

Meski ruang digital penuh kekacauan, kita tetap menyaksikan Pacce (atau Pesse dalam Bugis) bekerja dengan caranya yang baru.

Ketika bencana terjadi, bantuan terkumpul cepat melalui media sosial. Ketika ada korban ketidakadilan, solidaritas netizen menyeruak. Pacce telah bertransformasi menjadi digital philanthropy, empati yang meluas tanpa batas geografis.

Pacce membuktikan bahwa nilai lokal dapat hidup di era global.

Migrasi Nilai ke Ruang Digital: Tudang Sipulung Versi Baru

Tantangan besar kita adalah memigrasikan nilai-nilai budaya ke dunia digital. Tudang Sipulung atau Empo Sipitangarri—forum musyawarah yang mengedepankan mufakat, harus diterjemahkan ke dalam:

Diskusi grup WhatsApp yang saling menghargai

Komentar media sosial yang tidak memojokkan

Cara menegur melalui pesan pribadi (DM), bukan dipermalukan di ruang publik

Di dalam budaya kita, mengingatkan seseorang di depan banyak orang adalah bentuk mempermalukan. Maka DM sebenarnya adalah alat paling sesuai untuk menjalankan Sipakainga’ yang santun.

Penutup: Menjadi Bugis-Makassar di Tengah Gempuran Algoritma

Media sosial hanyalah alat. Ia bisa menjadi ruang publik yang mencerahkan atau hutan belantara yang menyesatkan. Identitas budaya kita diuji bukan saat memakai baju bodo atau lipa sabbe, tetapi saat jari kita bergerak menulis komentar.

Apakah kita akan menulis dengan amarah?

Atau menahan diri karena ingat pesan leluhur tentang Sipakatau?

Mari kita tebang semak belukar kebencian di dunia digital dan menanaminya dengan nilai adat kita. Agar generasi mendatang mewarisi ruang digital yang penuh martabat, bukan rimba yang menyesatkan, tetapi taman sari peradaban

Gunung Sari, 1 Desember 2025

Editor : Abdul Kadir

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network