MAKASSAR, iNewsGowa.id - Sembilan Brand Skincare akan dilaporkan ke Polda Sulsel oleh Lembaga Anti Korupsi (Laksus) bersama Masyarakat Peduli Konsumen Indonesia (Maskepindo), Selasa (29/10/2024).
Sederet Brand ternama seperti FF, Ratu Glow, NRL, MH hingga AF termasuk yang dilaporkan sebelum Razia besar-besaran akan dilakukan oleh Polda Sulsel.
"Saya kira ini penting. Agar brand-brand yang beredar dapat segera diperiksa untuk dibuktikan ada tidaknya kandungan bahan berbahaya dalam produk mereka," ujar Direktur Laksus Muhammad Ansar, kepada iNewsGowa.id Senin (28/10/2024) malam.
Menurut Ansar, ada sedikitnya 9 brand skincare yang beredar masif di Sulsel sehingga patut direkomendasikan untuk dilakukan uji lab di BPOM RI agar bisa segera ditetapkan statusnya.
"Hasil uji lab nanti harus dipublish secara terbuka oleh BPOM. Agar kita bisa tahu mana yang mengandung bahan berbahaya dan mana yang aman," ucapnya. Selanjutnya Ansar juga mengungkap brand yang terbukti melanggar, harus dilakukan tindakan isolasi.
"Produk yang terbukti berbahaya harus diisolasi. Lalu oleh pemerintah harus dinyatakan sebagai produk terlarang. Artinya tidak boleh beredar lagi," sambung Ansar.
Ansar juga meminta adanya langkah hukum terhadap owner pemilik skincare. Langkah ini penting, kata dia hal ini untuk memutus rantai peredarannya yang sudah sangat dalam.
"Tindakan hukum adalah tujuan kita. Semua owner yang terbukti memproduksi skincare berbahaya harus dijerat pidana sesuai UU Kesehatan dan UU Perlindungan Konsumen," tandasnya.
Adapun daftar 9 brand skincare yang akan diserahkan Laksus bersama Maspekindo ke Polda Sulsel yakni FF milik Fenny Frans, Ratu Glow milik Agus Salim Buchar, MH milik Mira Hayati, NRL milik Nurul dan AF milik Abhel Figo.
Lalu empat brand lainnya yakni TT Glow, SYR milik Syahraeni, MH milik Mimi Hamsyah dan yang terakhir adalah Jeng Ranti.
Warga Adukan Abhel Figo milik AF
Sebelumnya, warga di Kecamatan Ujungtanah, Kota Makassar mengadukan aktivitas peracikan kosmetik milik brand AF (Abel Figo). Kosmetik AF dilaporkan diracik secara ilegal di luar standar BPOM.
Warga setempat melaporkan aktivitas tersebut sejak tahun lalu. Laporan dilayangkan ke kelurahan dan kecamatan. Namun hingga saat ini tidak ada tindak lanjut dari pemerintah setempat.
Warga juga ikut melayangkan surat keberatan kepada BPOM dan kepolisian. Laporan direspons BPOM dan kepolisian. Sempat dilakukan pengecekan di lokasi. Namun tidak ada langkah penanganan secara konkret.
2022 lalu, AF atau Abel Figo masuk dalam daftar 11 brand kosmetik ilegal yang dilaporkan ke BPOM. AF diduga tak mengantongi izin edar resmi. Sementara brand TT Glow menurut BBPOM telah ditemukan melakukan aktivitas penjualan yang cukup masif.
Mereka juga ditengarai meracik sendiri produknya. Proses peracikan ini dipertanyakan, karena AF dan TT Glow diketahui tak memiliki lab khusus. Ia juga tak ditunjang oleh tenaga ahli peracik yang memenuhi standar.
Ketua Maspekindo Sulsel Mulyadi mengungkapkan, jika benar ada peracikan bahan kosmetik secara ilegal yang dilakukan, maka AF bisa dijerat pidana. Mulyadi mendesak dilakukan uji lab terhadap bahan kimia yang digunakan brand-brand tersebut.
Sejumlah pegiat antikorupsi menduga ada aliran 'jatah preman' yang sampai ke oknum aparat sehingga peredaran kosmetik ilegal di Sulawesi Selatan sulit diputus. Para aktivis menyebut owner kosmetik menggelontorkan 'jatah preman' hingga ratusan juta per bulan.
"Jadi kami menduga ada keterlibatan dari oknum aparat. Mereka menerima aliran jatah dari para owner kosmetik. Kami punya hasil investigasi siapa yang keciprat," terang aktivis antikorupsi yang juga pegiat sosial, Mulyadi.
Hanya saja kata Mulyadi, untuk membongkar aliran kejahatan bisnis kosmetik membutuhkan bukti kuat. Saat ini ia dan beberapa koalisi aktivis tengah mengumpulkan bukti untuk dilaporkan.
"Memang tidak mudah. Kita akan berhadapan dengan beberapa oknum dari institusi yang terlibat. Tetapi bagaimana pun harus dibongkar. Kalau tidak, bisnis ini akan terus dalam lingkaran setan," ketus Mulyadi,
Menurut Mulyadi, kejahatan para owner ini cukup rumit. Cara kerja mereka sangat terpola.
Antara owner dengan oknum aparat itu sudah terjalin koneksi yang mirip cara kerja sindikat.
"Jadi mereka bekerja itu sangat terstruktur. Owner-owner ini menyiapkan setoran yang japre atau jatah preman. Itu mengalir ke oknum aparat tertentu," katanya.
Oknum aparat inilah yang jadi perisai mereka. Sehingga para owner bisa menjalankan bisnis dengan bebas. Mulyadi mengatakan, mereka nyaris tak pernah tersentuh hukum.
"Semua laporan kita mentah. Sejak dua tahun lalu kita laporkan soal kosmetik ilegal. Tetapi tidak ada satupun yang ditindaklanjuti," tandas Mulyadi.
Kenapa? Kata Mulyadi, mereka (para owner) telah membangun koneksi di semua otoritas terkait.
"Mereka sudah punya jaringan di mana-mana. Dengan cara apa mereka bangun jaringan? Ya dengan itu tadi. Mereka gelontorkan 'jatah preman' yang ngalir ke mana-mana," jelasnya.
"Jadi jangan heran kalau mereka belum tersentuh juga sampai hari ini. Dan nilai yang mereka gelontorkan itu tidak main-main. Bisa sampai puluhan juta per bulan per owner," tambahnya.
Mulyadi menjelaskan, angka ini berbanding lurus dengan pendapatan para owner kosmetik.
"Perputaran bisnis mereka itu bisa sampai miliaran per bulan. Itu untuk owner owner skala besar yang sudah punya nama. Kalau yang brand brand menengah ya ratusan juta per bulan," katanya.
Mulyadi menjelaskan, laporan soal aktivitas ilegal brand kosmetik di Sulsel sudah dilayangkan ke berbagai institusi. Di kepolisian, dilaporkan soal dugaan peredaran barang ilegal.
Di BPOM sebagai otoritas, juga telah dilayangkan laporan masalah legalitas dokumen. Di mana brand-brand tersebut sebagian besar tak memiliki izin edar dari BPOM.
Mereka juga diduga memiliki rumah produksi sendiri yang tidak memenuhi ketentuan UU.
"Hampir semua owner punya rumah produksi. Di sana mereka meracik sendiri secara ilegal. Tapi sama sekali mereka tak pernah tersentuh," katanya.
Selain kepolisian dan BPOM, pihaknya kata Mulyadi juga telah melaporkan dugaan tindak pidana manipulasi pajak dan pencucian uang para owner ke Direktorat Jenderal Pajak.
Editor : Abdul
Artikel Terkait