Kisah Persaingan Jenderal M Jusuf Panglima Para Prajurit dan Jenderal Intel LB Moerdani

Vitrianda Hilba Siregar
Mendiang Jenderal TNI M Jusuf saat mengunjungi pasukan di daerah. Foto: Dok

JAKARTA, iNewsGowa- Commanders Call ABRI, diadakan di Ambon pada 30 Maret 1981. Panglima ABRI Jenderal TNI M Jusuf memanggil semua petinggi ABRI, tak terkecuali Letnan Jenderal TNI Leonardus Benyamin Moerdani, atau yang akrab dipanggil Benny Moerdani.

Ketika itu LB Moerdani menjabat sebagai Asisten Intelijen Panglima ABRI.

Namun, pertemuan itu tiba-tiba terhenti saat kabar dramatis datang: pesawat Garuda "Woyla" dibajak dan dibawa ke Bangkok. Kejadian ini membuat Benny Moerdani harus meninggalkan Ambon untuk mengawasi penanganan kasus tersebut. Keputusan Benny untuk pergi ini lantas menimbulkan berbagai spekulasi.

Jenderal TNI LB Moerdani. Foto: Dok

Rumor Perseteruan dan Realitas di Balik Layar

Beberapa pihak, seperti Kivlan Zen dalam bukunya Konflik dan Integrasi TNI-AD, menafsirkan kepergian Benny sebagai bukti perseteruannya dengan M. Jusuf. Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit. Menurut Atmadji, Benny tidak kabur. Justru M Jusuf-lah yang memerintahkan Benny secara langsung untuk menangani pembajakan Woyla. Benny bahkan menggunakan pesawat yang sebelumnya dipakai Jusuf untuk terbang ke Jakarta.

Rumor keretakan hubungan antara M. Jusuf dan Benny Moerdani semakin kuat menjelang akhir masa jabatan Jusuf sebagai panglima. Banyak jenderal merasa 'gerah' dengan popularitas Jusuf yang kian meroket. Dijuluki "Panglima Para Prajurit", M. Jusuf lebih sering berada di lapangan, berinteraksi langsung dengan prajurit, istri mereka, dan masyarakat, ketimbang hanya duduk di balik meja. Sikapnya yang merakyat ini membuat pamornya naik tajam.

Popularitas Jusuf yang melampaui para jenderal lain menimbulkan kecemburuan. Mereka khawatir peluang mereka untuk naik jabatan akan tertutup. Alhasil, muncullah upaya untuk mendiskreditkan Jusuf, sekaligus menarik perhatian Presiden Soeharto.

Kewaspadaan Soeharto dan Kenaikan Benny

Menurut Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, popularitas Jusuf yang luar biasa ini membuat Soeharto mulai merasa cemas. Soeharto dikenal tidak suka ada pesaing yang bisa membahayakan posisinya. Kisah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, yang popularitasnya meroket setelah menumpas PKI, menjadi contoh nyata. Pamornya yang tinggi membuat Soeharto menganggapnya ancaman, dan Sarwo pun akhirnya "dikotakkan" oleh Soeharto.

Kisah Sarwo seolah terulang kembali dengan M. Jusuf. Kewaspadaan Soeharto meningkat saat rumor beredar bahwa Jusuf menggunakan popularitasnya sebagai modal untuk menjadi presiden. Rumor ini bahkan diembuskan oleh orang-orang kepercayaan Soeharto di militer, termasuk Benny Moerdani.

"Letnan Jenderal Benny Moerdani diisukan melaporkan kepopuleran Jenderal M Jusuf kepada Soeharto," ungkap Kivlan.

Pada awalnya, Jusuf tidak terlalu ambil pusing. Ia sadar bahwa apa yang dilakukan Benny adalah bagian dari tugasnya sebagai perwira intelijen yang melaporkan situasi kepada atasan tertinggi mereka, Presiden Soeharto.

Meskipun keduanya tetap profesional, rumor keretakan hubungan Jusuf-Benny dan Soeharto terus digulirkan. Bahkan, perintah Benny untuk menempatkan empat anggota Kopassandha (sekarang Kopassus) sebagai pengawal Jusuf diartikan sebagai bentuk pengawasan.

Namun, Benny, sebagai seorang intelijen, tetap menganggap Jusuf tidak berbahaya. Sebaliknya, saat sekelompok mayor ingin "menyingkirkan" Benny, Jusuf justru menenangkan mereka agar tidak bertindak buruk.

Setelah sukses menangani pembajakan Woyla, pamor Benny Moerdani meningkat pesat. Pada akhirnya, Soeharto menunjuknya sebagai pengganti M. Jusuf. Salim Said bahkan menyebut, "Konon, Jusuf pulalah yang menyarankan agar Benny saja yang diangkat menjadi penggantinya."

Hubungan M. Jusuf dan Benny Moerdani tetap terjalin baik. Jusuf tetap menelepon Benny, menunjukkan kelegaan dan penerimaan atas posisinya. Hubungan ini membantah narasi yang sering beredar tentang adanya konflik di antara keduanya, terutama dalam konteks perpecahan antara kubu "ABRI Hijau" (Islam) dan "ABRI Merah Putih" (nasionalis). Selama bertugas, M. Jusuf diketahui tidak pernah membangun faksi atau klik di militer.

Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network