SUNGGUMINASA, iNews.id - Di balik hutan lebat dan pegunungan hijau di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, terdapat sebuah komunitas adat yang telah lama dikenal sebagai penjaga hutan tropis terbaik di dunia. Mereka adalah Suku Kajang, khususnya yang tinggal di Desa Tana Towa, Kecamatan Kajang.
Pengakuan internasional atas dedikasi mereka datang dari The Washington Post pada 1 Mei 2023, yang menyoroti kontribusi besar Suku Kajang dalam menjaga bumi melalui kearifan lokal dan aturan adat yang melestarikan hutan.
Suku Kajang hidup dengan prinsip "tallasa kamase-mase," yang berarti hidup sederhana dan menjauh dari kerakusan. Filosofi ini mengajarkan mereka untuk hanya mengambil apa yang benar-benar diperlukan dari alam, memastikan bahwa sumber daya alam tetap tersedia untuk generasi berikutnya.
Prinsip ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan mereka, mulai dari cara mereka bercocok tanam, membangun rumah, hingga menjaga hutan. Mereka menanam padi tanpa menggunakan bahan kimia, mengandalkan pupuk organik yang dibuat sendiri. Rumah-rumah mereka dibangun dari bahan alami seperti bambu dan kayu, dengan desain yang memperhatikan keberlanjutan.
Masyarakat Suku Kajang memiliki pranata budaya bernama Pasang ri Kajang, yang merupakan kumpulan aturan adat yang menjadi pedoman utama kehidupan mereka. Aturan ini mengatur hubungan mereka dengan sesama manusia, komunitas, dan terutama dengan lingkungan.
Salah satu Pasang menyatakan, “Anjo boronga anre nakulle nipanraki. Punna nipanraki boronga, nupanrakki kalennu,” yang berarti “Hutan tidak boleh dirusak. Bila engkau merusaknya, sama halnya engkau merusak dirimu sendiri.”
Mereka membagi kawasan hutan menjadi tiga bagian:
1. Borong Karamaka (Hutan Keramat): Kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan kecuali upacara adat. Tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas, atau kegiatan lain yang mengganggu flora dan fauna di kawasan ini.
2. Borong Batasayya (Hutan Perbatasan): Hutan yang diperbolehkan untuk diambil kayunya dengan izin Ammatoa sepanjang persediaan masih ada. Kayu yang bisa diambil hanya beberapa jenis saja dan digunakan untuk tujuan khusus, seperti membangun sarana umum atau rumah bagi warga yang tidak mampu. Pengambilan kayu dari hasil menebang pohon harus disertai dengan penanaman pohon pengganti.
3. Borong Luara’ (Hutan Rakyat): Hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat sesuai dengan aturan-aturan adat.
Selain menjaga hutan, Suku Kajang juga memiliki warisan pengetahuan obat-obatan alami yang disebut Doti. Doti bukan sekadar ramuan, tetapi cara berpikir berbasis keseimbangan alam. Dengan menjaga tumbuhan obat, mereka sekaligus menjaga keanekaragaman hayati dan memastikan hutan tetap hidup.
Bukan hanya The Washington Post, sejumlah organisasi internasional juga memberi penghargaan atas konsistensi Suku Kajang menjaga hutannya. Bagi mereka, penghargaan itu bukan tujuan, tetapi bagi dunia, itu pelajaran bahwa hidup bersahaja dapat menjadi benteng terakhir bumi dari kehancuran.
Suku Kajang mengajarkan kita bahwa dengan hidup sederhana, menghormati alam, dan memegang teguh adat, kita dapat menjaga kelestarian bumi untuk generasi mendatang.
Editor : Asward
Artikel Terkait