get app
inews
Aa Text
Read Next : Jaksa-BPN Bentuk Satgas Percepat Investasi, Kajati Sulsel Soroti Surat Keterangan Tanah dari Desa

Indonesia Darurat HIV, Siapa Peduli?

Jum'at, 22 November 2024 | 11:53 WIB
header img
Dosen Prodi Pendidikan Dokter FKIK UINAM Pengurus Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia Wil. Sulawesi Trisnawaty, M.Psi., Psikolog. Foto : iNewsGowa.id/Asward Taufiq

MAKASSAR, iNewsGowa.id - Sulawesi Selatan dihadapkan pada kenyataan pahit, 1.463 kasus HIV dilaporkan pada tahun 2024, dan Makassar berada di peringkat pertama, diikuti oleh Gowa dan Palopo dengan rincian jumlah kasus: Makassar 624 kasus, Gowa 98 kasus, Palopo 75 kasus, Bone 66 kasus dan Toraja Utara 57 kasus. 

Data ini bukan sekadar angka statistik, melainkan gambaran nyata dari krisis yang mengintai generasi kita. Ini bukan sekadar masalah kesehatan, tetapi cerminan dari krisis moral dan sosial yang harus diatasi. Peningkatan kasus HIV ini memaksa kita untuk bertanya: Mengapa ini bisa terjadi? Apa yang salah dengan masyarakat dan negara kita? Dan yang terpenting, apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya?. 

HIV sering dikaitkan dengan perilaku berisiko tinggi seperti seks bebas dan penggunaan narkoba suntik. Namun, lebih dari itu, ini adalah tanda dari krisis nilai yang sedang melanda masyarakat kita. Data menunjukkan bahwa mayoritas kasus HIV di Sulsel menimpa kelompok usia produktif, yakni 17–49 tahun. Mereka adalah generasi penerus bangsa, tetapi justru terperangkap dalam gaya hidup yang merusak diri sendiri. 

Tingginya angka kasus HIV di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan, tidak muncul begitu saja. Ada peran keluarga yang semakin memudar dalam mendidik generasidengan nilai-nilai moral dan agama. Banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan sehingga lupa bahwa anak-anak membutuhkan perhatian, bimbingan, dan teladan dalam menghadapi tantangan hidup, termasuk dorongan untuk hidup sesuai dengan norma dan agama.

Hilangnya kesalehan dalam keluarga menjadi pintu masuk bagi berbagai pengaruh negatif, termasuk perilaku berisiko seperti seks bebas.

Gempuran pemikiran kebebasan orientasi seksual seperti pemahaman LGBT juga tidak kalah massif mengempur generasi muda. Praktik LGBT, khususnya hubungan seksual sesama jenis, dapat menjadi salah satu faktor penyumbang tingginya kasus HIV.

Hubungan sesama jenis memiliki risiko HIV yang lebih tinggi karena adanya penularan melalui hubungan anal. Secara biologis, jaringan mukosa pada anus lebih rentan terhadap robekan mikro dibandingkan dengan vagina, sehingga memudahkan masuknya virus HIV saat terjadi kontak dengan cairan tubuh yang terinfeksi. 

Penelitian menunjukkan bahwa hubungan anal memiliki tingkat risiko penularan HIV18 kali lebih tinggi dibandingkan hubungan vaginal. Selain itu, Pria yang berhubungan seks dengan pria (MSM) memiliki prevalensi IMS yang lebih tinggi, seperti sifilis, gonore, dan klamidia, yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV. 

Beberapa kelompok dalam komunitas LGBT, terutama MSM, memiliki prevalensi perilaku berganti-ganti pasangan yang lebih tinggi. Perilaku ini meningkatkan kemungkinan terpapar HIV dari pasangan yang tidak diketahui status kesehatannya.

Tidak sampai di situ saja, media elektronik seperti televisi, platform streaming, dan media sosial juga menggempur generasi dengan menyajikan konten yang tidak sesuai untuk semua kalangan usia, termasuk adegan vulgar, sugestif, atau seksual.

Ketika anak-anak dan remaja terpapar konten seperti ini tanpa pendampingan orang tua, mereka cenderungMenganggap perilaku yang ditampilkan sebagai sesuatu yang normal atau bahkan diidolakan. Meniru perilaku tersebut karena melihatnya sebagai "trend" atau "gaya hidup modern."Sehingga generasi mengalami distorsi moral. Mereka sulit membedakan antara perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama dengan perilaku yang menyimpang.

Paparan berulang terhadap konten vulgar atau seksual juga dapat menyebabkan desensitisasi, yaitu menurunnya sensitivitas terhadap nilai-nilai moral dan norma sosial. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu atau tidak pantas justru menjadi sesuatu yang biasa atau diterima. Generasi muda yang terdesensitisasi terhadap konten vulgar lebih mungkin menganggap seks bebas sebagai bagian dari kehidupan normal.

Banyak media elektronik ini, secara tidak langsung mengglorifikasi perilaku seksual, baik melalui film, serial televisi, musik, atau iklan. Ketika hubungan seksual digambarkan sebagai sesuatu yang glamor, bebas konsekuensi, dan menyenangkan tanpa batasan, generasi yang belum matang secara emosional dan moral cenderung terpengaruh untuk mencoba perilaku serupa tanpa memahami risiko, seperti kehamilan tak direncanakan atau penularan penyakit menular seksual, termasuk HIV. 

Generasi akan memiliki ekspektasi yang salah tentang hubungan seksual, yang sering kali bertolak belakang dengan nilai-nilai agama dan budaya. Tidak bisa dipungkiri bahwa platform media digital sering kali menjadi pintu masuk bagi pornografi. Konten pornografi sendiri dapat merusak cara berpikir generasi muda dengan membentuk pandangan yang salah tentang hubungan interpersonal, di mana manusia akhirnya diperlakukan sebagai objek seksual. 

Hal ini menyebabkan meningkatnya risiko kecanduan pornografi, yang pada akhirnya dapat mendorong perilaku seksual yang tidak sehat atau tidak terkendali. Juga menyebabkan hilangnya penghargaan terhadap nilai kesucian diri dan tanggung jawab, dan komitmen.

Di sisi lain, peran masyarakat dalam mengawal nilai-nilai moral dan kesalehan generasi muda juga kian memudar. Kehidupan sosial yang dulunya penuh dengan pengawasan kolektif kini semakin individualistis, sehingga perilaku menyimpang sering kali tidak mendapat koreksi dari lingkungan. 

Tanpa dukungan dan arahan dari komunitas, anak muda kehilangan pijakan dalam memahami mana yang benar dan mana yang salah. Parahnya lagi, minimnya peran negara dalam memastikan pendidikan moral dan pengawasan terhadap konten yang dikonsumsi publik memperburuk situasi. Negara seharusnya hadir lebih tegas dalam menyaring pengaruh buruk dan memperkuat pendidikan yang berbasis nilai agama serta budaya lokal. Semua faktor ini bersatu padu menciptakan krisis moral yang menjadi lahan subur bagi meningkatnya angka kasus HIV di Indonesia.

Lalu apa yang harus dilakukan?

Untuk mengatasi tingginya angka kasus HIV, diperlukan langkah-langkah terpadu dari berbagai pihak: keluarga, masyarakat, pemerintah, media, dan individu. Peran Keluarga sebagai Pondasi Utama

Keluarga memiliki peran sentral dalam membentuk karakter, moral, dan kesalehan generasi. Orang tua harus aktif mengajarkan nilai-nilai agama dan etika kepada anak-anak, tidak hanya melalui ucapan tetapi juga melalui teladan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ajarkan kepada anak-anak tentang pentingnya menjaga kesucian diri, bahaya seks bebas, serta nilai-nilai moral yang mendasari hubungan antar manusia. Informasi ini harus disampaikan secara terbuka namun tetap sesuai dengan tahap perkembangan anak. 

Orang tua harus membatasi dan memantau akses anak terhadap media sosial, film, dan konten digital lainnya. Gunakan fitur parental control untuk menyaring konten yang tidak sesuai.Menguatkan hubungan emosional dalam keluarga (hal ini yang banyak hilang saat ini). Jadilah pendengar yang baik bagi anak-anak, sehingga mereka merasa nyaman untuk berbicara tentang apa pun, termasuk tantangan yang mereka hadapi. Dengan demikian, mereka tidak akan mencari jawaban dari sumber yang salah.

Peran Masyarakat sebagai Pengawal Moral

Masyarakat memiliki tanggung jawab kolektif untuk menjaga norma dan nilai moral dalam komunitasnya. Masyarakat yang sholeh dan bertakwa akan mempunyai peranan penting dalam menjaga generasi. Penting membangun komunitas yang peduli terhadap sesama, sehingga perilaku menyimpang dapat diluruskan melalui pendekatan persuasif dan penuh kasih. Penting mengadakan pengajian, diskusi moral, seminar kesehatan, dan kegiatan lain yang memperkuat nilai moral dan kesalehan generasi muda. 

Penting menyediakan wadah bagi mereka yang membutuhkan bantuan, seperti remaja yang bermasalah atau individu dengan HIV, untuk mendapatkan dukungan moral, edukasi, dan layanan kesehatan. Berikan pemahaman kepada masyarakat bahwa menolong atau mendukung individu dengan HIV adalah kewajiban moral, tanpa mengabaikan norma agama dan sosial yang berlaku.

Peran Negara Dalam Regulasi dan Intervensi

Negara harus menjadi motor utama dalam memerangi HIV melalui kebijakan yang tegas dan program yang terarah.Penting untuk memasukkan pendidikan moral, agama, dan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum sekolah. Edukasi ini harus disampaikan dengan pendekatan yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya.

Selain itu, penting untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap tes HIV gratis, layanan konseling, dan pengobatan antiretroviral (ARV) di seluruh daerah, termasuk wilayah terpencil. Melakukan kampanye pencegahan HIV yang melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan media untuk meningkatkan kesadaran publik tentang bahaya HIV dan pentingnya perilaku seksual yang sehat.

Pemerintah harus bekerja sama dengan platform media untuk menyaring konten vulgar yang tidak sesuai dengan nilai moral bangsa. Menyediakan program rehabilitasi bagi pengguna narkoba suntik, psikoterapi dan edukasi seksual bagi komunitas LGBT (agar bisa sembuh dari orientasi seksualnya), dan bantuan bagi perempuan atau anak yang menjadi korban eksploitasi seksual. Pemerintah juga harus memastikan petugas kesehatan memiliki kapasitas untuk memberikan layanan HIV yang ramah, inklusif, dan bebas stigma.

Peran Media Sebagai Penyampai Pesan

Media memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini dan perilaku masyarakat. Media harus mampu menayangkan program yang mendidik masyarakat tentang bahaya HIV, pentingnya kesehatan reproduksi, dan cara menjaga nilai moral di tengah tantangan modern. Menghentikan tayangan atau konten yang mengglorifikasi seks bebas, hubungan di luar nikah, atau gaya hidup hedonis. Menggunakan media sosial sebagai sarana untuk memberikan edukasi dan mendidik.

HIV bukan sekadar penyakit fisik, namun cerminan dari berbagai luka sosial, moral, dan spiritual yang sedang dihadapi bangsa ini. Tingginya angka kasus HIV di Sulawesi Selatan dan daerah lainnya bukan hanya tentang statistik yang memprihatinkan, tetapi sebuah seruan darurat untuk kita semua. Seruan untuk kembali pada nilai-nilai agama dan moral yang kokoh, seruan untuk menguatkan keluarga sebagai benteng pertama generasi, seruan untuk masyarakat agar kembali peduli, dan seruan untuk negara agar hadir dengan tindakan nyata bukan hanya sekedar pengumpul pajak. Penulis: Trisnawaty, M.Psi., Psikolog (Dosen Prodi Pendidikan Dokter FKIK UINAM Pengurus Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia Wil. Sulawesi)

Editor : Abdul

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut