Perawat RSUP Wahidin Makassar Alami Kekerasan Saat Urus Jenazah

MAKASSAR, iNews.id - Seorang perawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Wahidin Sudirohusodo, Makassar, menjadi korban kekerasan fisik saat menjalankan tugas kemanusiaan. Ironisnya, meskipun kejadian tersebut terjadi pada Sabtu (26/5) dini hari, hingga kini polisi belum menetapkan satu pun tersangka.
Insiden bermula ketika korban berinisial A (35), sedang melakukan perawatan jenazah pasien yang baru meninggal dunia. Tanpa peringatan, seorang pemuda yang belakangan diketahui sebagai anak dari pasien mendekat dari belakang dan mencekik leher korban hingga tersungkur sejauh tiga meter.
Meski sempat tersungkur dan mengalami tindak kekerasan, perawat A menunjukkan dedikasi luar biasa. Ia tetap melanjutkan proses penanganan jenazah meskipun kondisi emosional dan fisiknya terguncang.
Ketua Dewan Pengurus Komisariat (DPK) RS Wahidin, Fandi Setiawan Waris, membenarkan kejadian tersebut. Ia mengecam keras tindakan pelaku dan menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus mendapat perlindungan, bukan perlakuan kasar.
“Perawat tetap melanjutkan tindakan meski telah dicekik dan dijatuhkan. Kami sangat menyayangkan tindakan kekerasan ini,” ujar Fandi kepada wartawan.
Fandi menekankan pentingnya penghormatan terhadap profesi perawat yang bekerja 24 jam demi pelayanan pasien. Ia memastikan bahwa pihak rumah sakit mendampingi korban untuk melaporkan kejadian ke Polsek Tamalanrea.
Sementara itu, Kapolsek Tamalanrea, Kompol Muhammad Yusuf, mengatakan bahwa pihaknya masih menangani laporan tersebut dan belum menetapkan tersangka.
“Sementara dalam proses pemeriksaan dan penanganan. Perkembangannya akan kami teruskan ke pelapor,” jelasnya.
Pakar hukum pidana, Dr. Muhammad Abduh, S.H., M.H., turut menanggapi kasus ini. Ia menjelaskan bahwa merujuk Pasal 17 KUHAP, seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana dapat ditangkap apabila ada bukti permulaan yang cukup.
“Pertanyaannya, apa itu bukti permulaan yang cukup? Dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti sah meliputi keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa,” terang Abduh.
Lebih lanjut, Abduh menegaskan bahwa penetapan tersangka tidak bisa serta-merta, melainkan harus melalui tahap penyelidikan dan dilanjutkan dengan penyidikan, yang tujuannya adalah untuk membuat terang suatu tindak pidana dan memastikan minimal dua alat bukti yang sah.
“Lain halnya jika tindak pidana itu baru saja terjadi, sehingga masih memungkinkan dilakukan penangkapan langsung terhadap pelaku di tempat kejadian,” tutupnya.
Kasus ini pun menjadi sorotan di kalangan tenaga kesehatan dan publik luas. Harapan besar disematkan agar aparat bertindak cepat dan memberikan perlindungan hukum bagi mereka yang setiap hari mempertaruhkan waktu dan tenaga untuk menyelamatkan nyawa manusia.
Editor : Asward