Warganet serta Pemerhati Lingkungan Soroti Hilangnya Hutan Pinus dan Perubahan Iklim di Malino

SUNGGUMINASA, iNews.id - Hutan pohon pinus di Kecamatan Tinggi Moncong, Kecamatan Gowa yang sejak dahulu terkenal dengan suhunya yang sangat dingin bahkan dijuluki dengan Kota Bunga kini terancam tak bisa dirasakan lagi oleh para wisatawan khususnya warga sekitar.
Beberapa pemberitaan media massa atau pun media sosial sempat memuat kabar hutan pohon pinus di wilayah pengunungan sejuk itu sudah berkurang karena telah ditebang tanpa prosedur yang berlaku. Akibatnya, masyarakat ketika berkunjung di sekitar hutan pinus merasa gerah.
Beberapa aspek juga ikut mengakibatkan meningkatnya suhu panas di wilayah lokal wisata di Kabupaten Gowa tersebut. Sejumlah perusahaan pengembang property dan juga pengusaha villa semakin masif dan diduga membabat pohon pinus tak sesuai regulasi dari pihak terkait.
Masalah ini pun ramai diperbincangkan di media sosial khususnya Instagram milik akun @sosmedmakassar oleh para netizen yang kenal dan akrab dengan suasana di daerah ketinggian Malino.
Pemilik akun @koOpi_**** mengaku kalau di tahun 2016 silam, ia sering berkunjung ke Malino untuk menghabiskan waktu liburnya berwisata. Suhu dingin kala itu masih tergolong asri alias sejuk dan sangat dingin.
Sekarang, kata dia situasi Malino tak lagi seperti yang ia rasakan pada tahun sebelumnya. Di mana, suhu dingin di beberapa tempat mulai berkurang akibat masifnya penebangan pohon pinus akibat pembukaan kawasan villa.
"2016 sering ke sini (Malino), karena sudah banyak mi Villa-villa, pohon pinus pada ditebang. Cuacanya (suhu) sudah tidak seperti dulu," sebutnya di kolom komentar. Minggu (16/6/2025).
Akun lain berpendapat yang sama, stigma para pengembang atau pengusaha Villa tersebut dianggap keliru dalam membuka kawasan wisata penginapan. Sebab, warga masyarakat yang datang ke Malino umumnya karena mencari suasana alam yang sejuk dan bersuhu dingin.
"Salah mempelajari strategi marketing. Dikira orang ke Malino cari villa, padahal cari dingin (suhu) dan kesejukan," kata akun @chemank****.
Lain juga yang dikatakan oleh akun @yunike**** di deretan kolom komentar. Ia mengeluhkan infrastuktur jalan menuju daerah wisata alam Malino tak pernah mulus dilalui kendaraan. Dia bilang kalau kerusakan akses jalan itu tak pernah jadi perhatian pihak terkait.
"Jalan ke arah Malino juga rusak teruuuuusss," ketiknya sembari merasa kesal.
Kritik pun datang dari salah seroang pemerhati lingkungan. Ia pun sekaligus Ketua Pemerhati Pohon Bunga Spathodea Malino yakni RUDI M membenarkan adanya argumen dari masyarakat di media sosial soal buruknya pelestarian lingkungan disekitar Malino.
Katanya, ini adalah sirene peringatan yang memilukan, bukti nyata betapa identitas Malino sebagai kawasan dingin nan sejuk sedang terkikis dengan cepat.
"Suara warganet ini harus didengar sebagai panggilan darurat bagi semua pihak," tegas Rudi dalam wawancaranya bersama iNews.id
Tak sampai situ, Rudi mengatakan fenomena ini bukanlah sebuah ilusi. Melainkan perubahan suhu yang dirasakan pengunjung Malino dari masa ke masa sehingga mencerminkan realitas yang lebih besar.
Perubahan iklim sedang mengubah wajah daerah dulunya asri menjadi tercemar oleh karena pembalakan hutan pinus dalam skala besar.
Penyebabnya dia bilang, jika dulu udara sejuk dan kabut tebal menjadi ciri khas yang memikat, kini terik matahari dan hawa yang lebih hangat mulai mendominasi.
"Ini bukan hanya tentang kenyamanan berwisata, tapi ancaman serius terhadap ekosistem, pertanian lokal, sumber air, dan daya tarik ekonomi Malino yang bertumpu pada kesejukan udaranya," pungkasnya.
Dalam unggahan itu, intinya diharapkan pihak terkait lebih memperhatikan kelestarian alam terutama ruang terbuka hijau seperti kawasan hutan pinus tidak berakhir punah. Sebab, kini hutan pinus di daerah Malino Kecamatan Tinggi Moncong mulai terancam hilang.
Postingan ini mendapat 3.292 kali disukai oleh warganet dan pada kolom komentar sebanyak 87 akun Instagram ikut mengkritik suasana dingin wilayah berjuluk Kota Bunga itu tak lagi dingin seperti puluhan tahun yang lalu.
Editor : Abdul Kadir