JAKARTA, iNews.id - Pakar telematika Roy Suryo membantah keras tuduhan bahwa dirinya mengedit dan menyebarluaskan Ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar terkesan palsu. Ia menyebut tudingan itu tidak berdasar dan merupakan bentuk pembalikan fakta publik.
Dalam konferensi pers di Gedung Juang, Jakarta Pusat, Selasa, 11 November 2025, Roy tampil dengan nada tegas. “Saya, Dokter Rismon, Dokter Tifa, dan kawan-kawan, demi Tuhan, demi Allah SWT, tidak pernah mengedit ijazah siapa pun, apalagi milik Presiden Jokowi,” ujarnya lantang di hadapan wartawan.
Roy menilai isu yang menyebut dirinya terlibat dalam manipulasi dokumen telah berkembang liar dan menggiring opini publik. Padahal, kata dia, aktivitas yang dilakukan timnya murni bersifat penelitian ilmiah untuk menguji keaslian dokumen tersebut.
“Kami hanya meneliti, bukan memanipulasi. Kami menggunakan metode Error Level Analysis (ELA) dan luminance gradients yang biasa dipakai di dunia digital forensik. Tidak ada yang kami ubah sedikit pun dari dokumen itu,” tegas Roy.
Menurut Roy, dokumen Ijazah Jokowi yang menjadi objek penelitian itu diperoleh dari unggahan Dian Sandi Utama, seorang kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), pada 1 April 2025. Ia menilai, pihak yang pertama kali mengunggah dokumen tersebut seharusnya menjadi fokus penyelidikan.
“Kalau mau bicara pasal 32 dan 35 Undang-Undang ITE, ya mestinya yang diusut itu pengunggah pertama. Dialah yang membuat ijazah itu berubah tampakannya. Kami justru meneliti kejanggalan yang sudah beredar,” kata Roy.
Roy menegaskan, dirinya tidak memiliki kepentingan politik maupun motif pribadi dalam penelitian tersebut. Ia mengaku semata-mata ingin menunjukkan fakta digital dan mendidik masyarakat agar paham bagaimana teknologi bisa digunakan untuk menguji keaslian data.
“Kami tidak ingin menjatuhkan siapa pun. Ini murni upaya ilmiah. Kalau hasilnya tidak sesuai harapan pihak tertentu, bukan berarti kami bersalah,” ujarnya.
Dalam penjelasannya, Roy juga menyinggung soal pasal hukum yang digunakan untuk menjerat dirinya. Ia menyebut pasal 32 dan 35 UU ITE tentang manipulasi data elektronik memiliki ancaman di atas lima tahun penjara.
“Itulah yang sedang diarahkan kepada kami. Tapi kami yakin, fakta akan bicara,” katanya.
Ia menilai tuduhan terhadap dirinya berpotensi mengancam kebebasan berpikir dan riset ilmiah di Indonesia.
“Kalau penelitian berbasis teknologi dianggap kejahatan, maka dunia akademik kita akan lumpuh,” ujar Roy.
Roy juga mengungkap bahwa hasil penelitian timnya sudah dikonfirmasi ke beberapa sumber pembanding, termasuk ke lembaga penyelenggara pemilu.
“Ijazah yang kami analisis sudah kami bandingkan dengan data KPU di lima tempat. Semuanya identik. Jadi di mana letak editannya?” katanya.
Dalam kesempatan itu, Roy juga menyampaikan sumpah di hadapan publik.
“Demi Tuhan, demi Allah, tidak ada yang namanya edit. Kami tidak pernah mengubah sehelai piksel pun. Kami bekerja dengan data yang terbuka dan bisa diverifikasi,” ujarnya dengan nada tinggi.
Ia bahkan menegaskan bahwa penelitian itu justru memperlihatkan kejanggalan signifikan pada dokumen ijazah yang beredar.
“Hasil analisis menunjukkan, 99,9 persen ijazah itu tidak autentik. Kami hanya menyampaikan hasilnya secara objektif,” tambah Roy.
Sementara itu, Polda Metro Jaya telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik dan manipulasi data elektronik yang dilaporkan Presiden Jokowi. Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri menyatakan penyidik telah mengantongi bukti cukup untuk penetapan tersebut.
“Polda Metro Jaya telah menetapkan delapan tersangka dalam perkara pencemaran nama baik, fitnah, dan manipulasi data elektronik,” kata Asep dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jumat, 7 November 2025.
Asep menjelaskan, para tersangka dibagi dalam dua klaster. Klaster pertama terdiri dari ES, KTR, MRF, RE, dan DHL, sedangkan klaster kedua meliputi RS, RHS, dan TT. Nama Roy Suryo termasuk dalam klaster kedua.
Meski demikian, sejumlah pihak menilai proses hukum ini perlu dijalankan secara transparan dan proporsional. Roy menyatakan siap menghadapi semua tahapan hukum. “Kami tidak akan lari. Tapi kami juga akan tetap berdiri di atas kebenaran ilmiah. Karena fakta digital tidak bisa dibohongi,” pungkasnya.
Editor : Revin
Artikel Terkait
